Mahar dalam Islam adalah tanda cinta. Ia juga merupakan simbol penghormatan dan pengagungan perempuan yang disyariatkan Allah sebagai hadiah laki-laki terhadap perempuan yang dilamar ketika menginginkannya menjadi pendamping hidup sekaligus sebagai pengakuannya terhadap kemanusiaan dan kehormatannya.
“Berilah mereka mahar dengan penuh ketulusan. Tetapi jika mereka rela memberikan sebagian dari mahar, maka ambillah dengan cara yang halal dan baik.” (QS An Nisa’ ayat 4)
Dari Aisyah bahwa Rasulullah pernah bersabda “Sesungguhnya pernikahan yang paling berkah adalah pernikahan yang bermahar sediki. ” (mukhtashar sunan Abu Daud)
Dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara tanda-tanda berkah perempuan adalah mudah dilamar, murah maharnya, dan murah rahimnya.” (HR. Ahmad)
Dari Abu Said Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW menikahi Aisyah dengan mahar alat-alat rumah tangga yang bernilai lima puluh dirham (HR Ibnu Majah)
Rasulullah SAW pernah menikahkan anak-anak perempuannya dengan mahar yang murah. Sebagian sahabat menikah dengan emas yang beratnya tidak seberapa dan sebagian lain menikah dengan mahar cincin dari besi. Rasulullah mengawinkan Fatimah dengan Ali dengan baju perang. Beliau juga pernah menikahkan seorang laki-laki dengan mahar mengajarkan 20 ayat Al Quran kepada calon istrinya.
Mahar Berlebih-Lebihan
Tanya :
Saya melihat dan semua juga melihat bahwa kebanyakan orang saat ini berlebih-lebihan di dalam meminta mahar dan mereka menuntut uang yang sangat banyak (kepada calon suami) ketika akan mengawinkan putrinya, ditambah dengan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi. Apakah uang yang diambil dengan cara seperti itu halal ataukah haram hukumnya?
Jawab :
Yang diajarkan adalah meringankan mahar dan menyederhanakan-nya serta tidak melakukan persaingan, sebagai pengamalan kita kepada banyak hadits yang berkaitan dengan masalah ini, untuk mempermudah pernikahan dan untuk menjaga kesucian kehormatan muda-mudi.
Para wali tidak boleh menetapkan syarat uang atau harta (kepada pihak lelaki) untuk diri mereka, sebab mereka tidak mempunyai hak dalam hal ini; ini adalah hak perempuan (calon istri) semata, kecuali ayah. Ayah boleh meminta syarat kepada calon menantu sesuatu yang tidak merugikan putrinya dan tidak mengganggu pernikahannya. Jika ayah tidak meminta persyaratan seperti itu, maka itu lebih baik dan utama. Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman,
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba saha-yamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuni-Nya.” (An-Nur: 32).
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda yang diriwayatkan dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiallaahu anhu ,
خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرُهُ.
“Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan redaksi “Sebaik-baik nikah adalah yang paling mudah”. Dan oleh Imam Muslim dengan lafazh yang serupa dan di sahihkan oleh Imam Hakim dengan lafaz tersebut di atas..”
Ketika Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam hendak menikahkan seorang shahabat dengan perempuan yang menyerahkan dirinya kepada beliau, ia bersabda,
اِلْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ.
“Carilah sekalipun cincin yang terbuat dari besi. Riwayat Al-Bukhari.”
Ketika shahabat itu tidak menemukannya, maka Rasulullah menikahkannya dengan mahar “mengajarkan beberapa surat Al-Qur’an kepada calon istri”.
Mahar yang diberikan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam kepada istri-istrinya pun hanya bernilai 500 Dirham, yang pada saat ini senilai 130 Real (kira-kira Rp. 250.000,-), sedangkan mahar putri-putri beliau hanya senilai 400 Dirham, yaitu kira-kira 100 Real (Rp.200.000,-). Dan Allah Subhannahu wa Ta’ala telah berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik.” (Al-Ahzab: 21).
Manakala beban biaya pernikahan itu semakin sederhana dan mudah, maka semakin mudahlah penyelamatan terhadap kesucian kehormatan laki-laki dan wanita dan semakin berkurang pulalah perbuatan keji (zina) dan kemungkaran, dan jumlah ummat Islam makin bertambah banyak.
Semakin besar dan tinggi beban perkawinan dan semakin ketat perlombaan mempermahal mahar, maka semakin berkuranglah perka-winan, maka semakin menjamurlah perbuatan zina serta pemuda dan pemudi akan tetap membujang, kecuali orang dikehendaki Allah.
Maka nasehat saya kepada seluruh kaum Muslimin di mana saja mereka berada adalah agar mempermudah urusan nikah dan saling tolong-menolong dalam hal itu. Hindari, dan hindarilah prilaku menuntut mahar yang mahal, hindari pula sikap memaksakan diri di dalam pesta perni-kahan. Cukuplah dengan pesta yang dibenarkan syari’at yang tidak banyak membebani kedua mempelai.
Semoga Allah memperbaiki kondisi kaum Muslimin semuanya dan memberi taufiq kepada mereka untuk tetap berpegang teguh kepada Sunnah di dalam segala hal.
( Kitabud Da’wah, al-Fatawa: hal. 166-168, dan Fatawa Syaikh Ibnu Baz. )

hadis tentang mahar

Sebagimana yang ditegaskan dalam al-Qur’an pada surat an-Nisa ;4 memerintahkan kepada calon suami untuk membayar mahar :
وَآتُوا النِّسَاءَ لَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا صَدُقَاتِهِنَّ نِحْ فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan” (Q.S. an-Nisa:4)
Suami berkewajiban menyerahkan mahar atau mas kawin kepada calon istrinya.
Mas`kawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama mas kawin itu bersifat lambang, maka sedikitpun jadilah. Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan yang artinya: “Sebaik-baik mas kawin adalah seringan-ringannya”.
Begitu sabda Nabi Saw, walaupun al-Qur’an tidak melarang untuk memberi sebanyak-banyak mungkin mas kawin, ini karena pernikahan bukan akad jual beli, dan mahar bukan harga seorang wanita. Menurut al-Qur’an, suami tidak boleh mengambil kembali mas kawin itu, kecuali bila istri merelakannya.
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا.وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
”Apakah kalian (hai para suami) akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu (suami dan istri) telah melapangkan (rahasianya / bercampur) dengan sebagian yang lain (istri atau suami) dan mereka (para istri) telah mengambil dari kamu perjanjin yang amat kokoh.”  (Q.S an-Nisa:20-21).
Agama menganjurkan agar mas kawin merupakan sesuatu yang bersifat materi, karena itu, bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan perkkawinan sampai ia memiliki kemampuan. Tetapi kalau oleh satu dan lain hal, ia   harus juga kawin, maka cincin besi pun jadilah.
َ فَاطْلُبْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ
”Carilah walau cincin dari besi”
Begitu sabda nabi Saw. Kalau ini pun tidak dimilikinya sedang perkawinan tidak dapat ditangguhakan lagi, baru mas kawinnya boleh berupa mengajarkan beberapa ayat al-Qur’an. Rasulullah pernah bersabda
قَدْ أَنْكَحْتُكَهَا عَلَى مَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
“Telah saya kawinkan engkau padanya dengan apa yang engkau miliki dari al-Qur’an.”