Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan.
Hubungan
antara seorang laki - laki dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang
telah diciptakan oleh Allah SWT dan untuk menghalalkan hubungan ini
maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan antara laki - laki dn
perempuan yang diatur dengan pernikahan ini akan membawa keharmonisan,
keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun perempuan,
bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada
disekeliling kedua insan tersebut.
Berbeda
dengan pergaulan antara laki - laki dan perempuan yang tidak dibina
dengan sarana pernikahan akan membawa malapetaka baik bagi kedua insan
itu, keturunannya dan masyarakat disekelilingnya. Pergaulan yang diikat
dengan tali pernikahan akan membawa mereka menjadi satu dalam urusan
kehidupan sehingga antara keduanya itu dapat menjadi hubungan saling
tolong menolong, dapat menciptkan kebaikan bagi keduanya dan menjaga
kejahatan yang mungkin akan menimpa kedua belah pihak itu. Dengan
pernikahan seseorang juga akan terpelihara dari kebinasaan hawa
nafsunya.
Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut :
” Maka
kawinilah wanita - wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan brlaku adil maka (kawinilah)
seorang saja .” (An - Nisa : 3).
Ayat
ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk
melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil
didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan
lain - lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa
islam memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat tertentu.
2. HUKUM DAN DALILNYA
Pada
dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu
untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam -
macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.
a. Sunnah, bagi
orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga dapat
memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan - keperluan lain yang
mesti dipenuhi.
b. Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus dalam perzinaan.
Sabda Nabi Muhammad SAW. :
“Hai
golongan pemuda, barang siapa diantara kamu yang cukup biaya maka
hendaklah menikah. Karena sesumgguhnya nikah itu enghalangi pandangan
(terhadap yang dilarang oleh agama.) dan memlihara kehormatan. Dan
barang siapa yang tidak sanggup, maka hendaklah ia berpuasa. Karena
puasa itu adalah perisai baginya.” (HR Bukhari Muslim).
c. Makruh, bagi
orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan Karena tidak mampu
memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.
Firman Allah SWT :
“Hendaklah
menahan diri orang - orang yang tidak memperoleh (biaya) untuk nikah,
hingga Allah mencukupkan dengan sebagian karunia-Nya.” (An Nur / 24:33)
d. Haram, bagi
orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau
menyia - nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak
mampu memberi belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.
e. Mubah, bagi orang - orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya.
3. SYARAT DAN RUKUN MUNAKAHAT
Rukun nikah ada lima macam, yaitu :
a. Calon suami
Calon suami harus memenuhi syarat - syarat sebagai berikut :
1) Beragama Islam
2) Benar - benar pria
3) Tidak dipaksa
4) Bukan mahram calon istri
5) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
6) Usia sekurang - kurangnya 19 Tahun
b. Calon istri
Calon istri harus memiliki syarat - syarat sebagai berikut :
1) Beragama Islam
2) Benar - benar perempuan
3) Tidak dipaksa,
4) Halal bagi calon suami
5) Bukan mahram calon suami
6) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
7) Usia sekurang - kurangnya 16 Tahun
c. Wali
Wali harus memenuhi syarat - syarat sebagi berikut :
1) Beragama Islam
2) Baligh (dewasa)
3) Berakal Sehat
4) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
5) Adil (tidak fasik)
6) Mempunyai hak untuk menjadi wali
7) Laki - laki
d. Dua orang saksi
Dua orang saksi harus memenuhi syarat - syarat sebagai berikut :
1) Islam
2) Baligh (dewasa)
3) Berakal Sehat
4) Tidak sedang ihram, haji, atau umroh
5) Adil (tidak fasik)
6) Mengerti maksud akad nikah
7) Laki - laki
Pernikahan yang dilakukan tanpa saksi tidak sah. Sabda Nabi SAW. :
“Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (Riwayat Ahmad.)
e. Ijab dan Qabul
ZZ Allah dan kamu menghalalkan mereka dengan kalimat Allah”. (HR. Muslim).
Pengertian Talak
Yang
dimaksud dengan talak adalah pemutusan tali perkawinan. Talak merupakan
sesuatu yang disyar’iatkan. Dan yang menjadi dasarnya adalah Al-Qur’an
dan al-Hadits serta ijma’.
Hikmah Talak
Dari
uraian bab-bab sebelumnya kita mengetahui beberapa perhatian Islam
terhadap usrah muslimah (keluarga muslimah) dan keselamatanya serta
terhadap damainya kehidupan di dalamnya dan kita juga melihat
metode-metode terapi yang Islam syari’atkan untuk mengatasi segala
perpecahan yang muncul di tengah usrah muslimah, baik disebabkan oleh
salah satu suami isteri atau oleh keduanya.
Hanya
saja, terkadang ’ilaj (terapi dan upaya penyelesaian) tidak bisa
efektif lagi karena perpecahannya sudah parah dan persengketaanya sudah
memuncak, sehingga pada saat itu mesti di tempuh ’ilaj yang lebih, yaitu
talak.
Orang
yang mencermati hukum-hukum yang terkandung dalam masalah talak akan
kian kuat, menurutnya perhatian Islam terhadap institusi rumah tangga
dan keinginan Islam demi kekalnya hubungan baik antara suami isteri.
Karena itu, tatkala Islam membolehkan talak, ia tidak menjadikan
kesempatan menjatuhkan talak hanya sekali yang kemudian hubugan kedua
suami isteri terputus begitu saja selama-lamanya, tidak demikian, namun
memberlakukannya sampai beberapa kali.
Allah SWT berfirman, ”Talak
(yang dapat di rujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan
orang yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).
Apabila
seorang laki-laki mentalak isterinya, talak pertama atau talak kedua,
maka ia tidak berhak baginya untuk mengusir isterinya dari rumahnya
sebelum berakhir masa idahnya, bahkan sang isteri tidak boleh keluar
dari rumah tanpa izin dari suaminya. Hal itu disebabkan Islam sangat
menginginkan segera hilangnya amarah yang menyulut api perceraian.
Kemudian Islam menganjurkan agar kehidupan harmonis rumah tangga, bisa
segera pulih kembali seperti semula, dan inilah yang disebutkan Rabb
kita dalam firman-Nya, ”Hai Nabi
jika kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan
hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabbmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) keluar kecuali kalau melakukan perbuatan keji yang terang.
Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum
Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya
sendiri. Kamu tidak mengetahui barang kali Allah mengadakan sesudah itu
suatu hal yang baru.” (Ath-Thalaq: 1)
Yaitu
barang kali pihak suami menyesal atas keputusan mentalak isterinya, dan
Allah Ta’ala menjadikan di dalam kalbunya keinginan kuat untuk rujuk
(kembali) kepadanya sehingga yang demikian lebih mudah dan lebih gampang
untuk proses rujuk.
Klasifikasi Talak
1. Talak dilihat dari Segi Lafadz
Talak ditinjau dari segi lafadz terbagi menjadi talak sharih (yang dinyatakan secara tegas) dan talak kinayah (dengan sindiran).
Talak sharih ialah
talak yang difahami dari makna perkataan ketika diharapkan, dan tidak
mengandung kemungkinan makna yang lain. Misalnya, ”Engkau telah
tertalak dan dijatuhi talak. Dan semua kalimat yang berasal dari lafazh
thalaq.
Dengan
redaksi talak di atas, jatuhlah talak, baik bergurau, main-main ataupun
tanpa niat. Kesimpulan ini didasarkan pada hadits dari Abu Hurairah
r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda, ”Ada tiga hal yang sungguh-sungguh, jadi serius dan gurauannya jadi serius (juga) : nikah, talak, dan rujuk.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no:1826 dan Tirmidzi II:328 no:1195).
Talak kinayah,
ialah redaksi talak yang mengandung arti talak dan lainnya. Misalnya
”Hendaklah engkau kembali kepada keluargamu”, dan semisalnya.
Dengan
redaksi talak di atas maka tidak terjadi talak, kecuali diiringi dengan
niat. Jadi apabila sang suami menyertai ucapan itu dengan niat talak
maka jatuhlah talak; dan jika tidak maka tidak terjadi talak.
Dari
Aisyah r.a. berkata, Tatkala puteri al-Jaun menikah dengan Rasulullah
saw. dan beliau (kemudian) mendekatinya, ia mengatakan, ”’Auudzubillahi
minka (aku berlindung kepada Allah darimu). Maka kemudian beliau
bersabda kepadanya, ”Sungguh engkau telah berlindung kepada Dzat Yang
Maha Agung, karena itu hendaklah engkau bergabung dengan keluargamu.” (Shahih: Shahih Nasa’i no:3199, Fathul Bari IX:356 no:5254, Nasa’i VI:150).
Dari
Ka’ab bin Malik r.a., ketika ia dan dua rekannya tidak bicara oleh
Nabi saw, karena mereka tidak ikut bersama beliau pada waktu perang
Tabuk, bahwa Rasulullah saw pernah mengirim utusan menemui Ka’ab (agar
menyampaikan pesan Beliau kepadanya), ’Hendaklah engkau menjauhi
isterimu!” Kemudian Ka’ab bertanya, ”Saya harus mentalaknya, ataukah apa
yang harus aku lakukan?” Jawab Beliau, ”Sekedar menjauhinya, jangan
sekali-kali engkau mendekatinya.” Kemudian Ka’ab berkata, kepada
isterinya, ”Kembalilah engkau kepada keluargamu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari III: 113 no:4418, Muslim IV:1120 no:2769, ’Aunul Ma’bud VI:285 no:2187 dan Nasa’i VI:152).
2. Talak Dilihat dari Sudut Ta’liq dan Tanjiz
Redaksi talak adakalanya berbentuk Munajazah dan adakalanya berbentuk mu’allaqah.
Redaksi
talak munajazah ialah pernyataan talak yang sejak dikeluarkannya
pernyataan tersebut pengucap bermaksud untuk mentalak, sehingga ketika
itu juga jatuhlah talak. Misalnya: ia berkata kepada isterinya : ’Engkau
tertalak’.
Hukum talak munajazah ini terjadi sejak itu juga, ketika diucapkan oleh orang yang bersangkutan dan tepat sasarannya.
Adapun
talak mu’allaq, yaitu seorang suami menjadikan jatuhnya talak
bergantung pada syarat. Misalnya, ia berkata kepada isterinya: Jika
engkau pergi ke tempat, maka engkau ditalak.
Hukum
talak mu’allaq ini apabila dia bermaksud hendak menjatuhkan talak
ketika terpenuhinya syarat. Maka jatuh talaknya sebagaimana yang
diinginkannya.
Adapun
manakala yang dimaksud oleh sang suami dengan talak mu’allaq, adalah
untuk menganjurkan (agar sang isteri) melakukan sesuatu atau
meninggalkan sesuatu atau yang semisalnya, maka ucapan itu adalah
sumpah. Jika apa yang dijadikan bahan sumpah itu tidak terjadi, maka
sang suami tidak terkena kewajiban apa-apa, dan jika terjadi, maka ia
wajib membayar kafarah sumpah.
3. Talak Dilihat dari Segi Argumentasi
Ditilik dari sisi ini talak terbagi kepada talak sunni dan talak bid’i
Adapun
yang dimaksud talak sunni ialah seorang suami menceraikan isterinya
yang sudah pernah dicampurinya sekali talak, pada saat isterinya sedang
suci dari darah haidh yang mana pada saat tersebut ia belum
mencampurinya.
Allah SWT berfirman, ”Talak
yang dapat dirujuk dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan do’a
yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).
”Hai
Nabi apabila kamu akan menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya yang
wajar.” (At-Thalaq:1).
Nabi saw menjelaskan maksud ayat di atas sebagai berikut :
Ketika
Ibnu Umar menjatuhkan talak pada isterinya yang sedang haidh, maka Umar
bin Khattab menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah saw lalu beliau
menjawab, ”Perintahkan
anakmu supaya ruju’ (kembali) kepada isterinya itu kemudian teruskanlah
pernikahan tersebut hingga ia suci dari haidh, lalu haidh kembali dan
kemudian suci dari haidh yang kedua. Lalu jika berkehendak ia boleh
menceraikannya sebelum ia diceraikan.” (Muttafaqun
’alaih: Fathul Bari IX:482 no:5332, Muslim IOI:1093 no:1471, ’Aunul
Ma’bud VI:227 no:2165 dan lafazh ini adalah riwayat Imam Abu Daud, dan
Nasa’i VI:138).
Adapun
talak bid’i ialah talak yang bertentangan dengan ketentuan syari’at.
Misalnya seorang suami mentalak isterinya ketika ia dalam keadaan haidh,
atau pada saat suci namun ia telah mencampurinya ketika itu atau
menjatuhkan talak tiga kali ucap, atau dalam satu majlis. Contoh, :
Engkau ditalak tiga atau engkau ditalak, engkau ditalak, engkau ditalak.
Hukum
talak ini adalah haram, dan pelakunya berdosa. Jadi, jika seorang suami
mentalak isterinya yang sedang haidh, maka tetap jatuh satu talaknya.
Namun jika itu adalah talak raj’i, maka ia diperintahkan untuk rujuk
kepada isterinya kemudian meneruskan perkawinannya hingga suci. Kemudian
haidh lagi, lalu suci kedua kalinya. Dan kemudian kalau ia mau
teruskanlah ikatan pernikahannya, dan jika ia menghendaki, ceraikanlah
sebelum mencampurinya. Sebagaimana yang Nabi saw perintahkan kepada Ibnu
Umar r.a..
Adapun dalil tentang jatuhnya talak bid’i ialah riwayat Imam Bukhari:
Dari Sa’id Jubir dari Ibnu Umar ra, ia berkata, ”Ia (isteriku) terhitung untukku satu talak.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no:128 dan Fathul Bari IX no:5253).
Al-hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari IX:353 menulis sebagai berikut :
”Sesungguhnya
Nabi saw. yang memerintahkan Ibnu Umar untuk rujuk kepada isterinya dan
beliau pulalah yang membimbingnya mengenai apa yang hendak ia lakukan
bila ia ingin mentalak isterinya setelah suci dari haidh yang kedua. Dan
manakala Ibnu Umar menginformasikan, bahwa ia telah menjatuhkan talak
satu pada isterinya itu maka kemungkinan, bahwa pihak yang menganggap
jatuh talak satu dari Ibnu Umar itu, selain Nabi adalah kemungkinan yang
amat sangat jauh, karena dalam kisah ini banyak perintah isyarat yang
menunjuka kepada, jatuhnya talak satu itu. Bagaimana mungkin bisea
dikhayalkan bahwa Abdullah bin Umar dalam kasus ini mengerjakan sesuatu
berdasar rasional semata, padahal di yang meriwayatkan bahwa Nabi saw
pernah marah atas perbuatannya itu?
Bagaimana mungkin ia tidak mengajak beliau musyawarah mengenai apa yang ia lakukan dalam kisah itu?”
Lebih lanjut al-Hafizh mengatakan, ”Dalam Musnadnya, Ibnu Wahib meriwayatkan:
Dari
Ibnu Abi Dzi’b bahwa Naf’i pernah menginformasikan kepadanya bahwa Ibnu
Umar r.a. pernah mencerai isterinya yang sedang haidh. Kemudian Umar
menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw, maka jawab Beliau,
”Perintahkanlah dia supaya ruju’ kepada isterinya, kemudian teruskanlah
pernikahannya hingga isterinya suci.” Kemudian Ibnu Abi Dzi’b dalam
hadits ini meriwayatkan dari Nabi saw, Beliau bersabda, ”Itu talak
satu.” Ibnu Abi Dzi’b meriwayatkan (lagi) dari Hanzhalah bin Abi Sufyan
bahwa ia pernah mendengar Salim meriwayatkan dari bapaknya, dari Nabi
saw tentang pernyataan itu.
Lebih
lanjut al-Hafizh mengatakan, ”Daruquthni meriwayatkan dari jalu Yazid
bin Harun dari Ibnu Abi Dzi’b dan Ibnu Abi Ishaq keduanya dari Naf’i:
Dari
Ibnu Umar ra dari Nabi saw., Beliau saw. bersabda, ”Itu talak satu”
(sanadnya Shahih Irwa-ul Ghalil VII:134 dan Daruquthani IV:9 no:24).
Dan ini adalah (yang sudah jelas) dalam permasalahan yang diperselisihkan, maka (bagi kita) untuk mengikuti nash ini.
Talak Tiga
Adapun
seorang suami yang mencerai isterinya dengan talak tiga dengan satu
kalimat, atau dalam satu majelis, maka jatuh satu berdasar riwayat Imam
Muslim:
Dari
Ibnu Abbas ra, ia berkata, ”Talak pada periode Rasulullah saw, Abu
Bakar dan beberapa tahun pada masa khalifah Umar talak tiga, (sekaligus)
jatuh satu. Kemudian Umar bin Khattab ra berkata, ”Sesungguhnya
orang-orang benar terburu-buru dalam memutuskan urusan (thalak) ini,
yang dahululnya mereka sangat hati-hati. Maka kalau kami berlakukan
mereka, lalu diberlakukanlah hal itu atas mereka.” (Muslom II: 1099
no:1472).
Pendapat
Umar ini adalah ijtihad dia sendiri yang tujuannya demi terwujudnya
kemaslahatan menurut pandangannya, namun tidak boleh meninggalkan fatwa
Rasulullah saw. dan yang menjadi pegangan para sahabat beliau pada masa
Beliau dan pada masa khalifah Beliau. Selesai.
4. Talak Ditinjau dari Segi Boleh Tidaknya Rujuk
Talak
terbagi menjadi dua yaitu talak raj’i (suami berhak untuk rujuk) dan
talak bain (tak ada lagi hak suami untuk rujuk kepada isterinya). Talak
bain terbagi dua, yakni bainunah shughra dan bainunah kubra.
Talak
raj’i adalah talak isteri yang sudah didukhul (dicampuri) tanpa
menerima pengembalian mahar dari isteri dan sebagai talak pertama atau
talak kedua.
Allah SWT befirman, ”Talak (yang dirujuki) dua klia. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al-Baqarah:229).
Wanita
yang dijatuhi talak raj’i suami berhak untuk rujuk dan dia berstatus
sebagai isteri yang sah selama dalam masa iddah, dan bagi suami berhak
untuk rujuk kepadanya pada waktu kapan saja selama dalam massa
iddah dan tidak dipersyaratkan harus mendapat ridha dari pihak isteri
dan tidak pula izin dari walinya. Allah SWT berfirman, ”Wanita-wanita
yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak
boleh menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya jika
mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak
merujuknya dalam masa menanti (berakhirnya masa iddah) itu jika mereka
(para suami) itu menghendaki ishlah.” (Al-Baqarah:228).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 627 - 635.
Rujuk Dalam Islam
A. Pengertian Rujuk
Rujuk adalah mengembalikan istri yang telah ditalak pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan. Rujuk menurut bahasa artinya kembali (mengembalikan). Adapun yang dimaksud rujuk disini adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan istrinya dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu.
menurut bahasa Arab, kata ruju’ berasal dari kata raja’ a-yarji’ u-rujk’an yang berarti kembali, dan mengembalikan. Sedangkan secara terminology, ruju’ artinya kembalinya seorang suami kepada istrinya yang di talak raj’I, tanpa melalui perkawinan dalam masa ‘iddah. Ada pula para ulama mazhab berpendapat dalam istilah kata ruju’ itu adalah menarik kembali wanita yang di talak dan mempertahankan (ikatan) perkawinannya. Hukumnya, menurut kesepakatan para ulama mazhab, adalah boleh. Menurut para ulama mazhab ruju’ juga tidak membutuhkan wali, mas kawin, dan juga tidak kesediaan istri yang ditalak.
Firman Allah SWT Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Baqarah :228)
Dapat di rumuskan bahwa ruju’ ialah mengembalikan setatus hokum perkawinan secara penuh setelah terjadinya talak raj’I yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa idddah, dengan ucapan tertentu.
Dengan terjadinya talak raj’I. maka kekuasaan bekas suami terhadap istri menjadi berkurang, namun masih ada pertalian hak dan kewajiban antara keduanya selama istri dalam masa iddahnya, yaitu kewajiban menyediakan tempat tinggal serta jaminan nafkah, dan sebagai imbangannya bekas suami memiliki hak prioritas untuk meruju’ bekas istrinya itu dalam arti mengembalikannya kepada kedudukannya sebagai istri secara penuh, dan pernyataan ruju’ itu menjadi halal bekas suami mencampuri bekas istri yang dimaksud, sebab dengan demikain setatus perkawinan mereka kembali sebagai sedia kala.
Perceraian ada tiga cara, yaitu :
1. talaq bain qubra (talaq tiga). Laki-laki tidak boleh rujuk lagi dan tidak sah menikah lagi dengan bekas istrinya itu, keculi apbila si istri sudah menukah dengan orang lain, sudah campur, sudah diceraikan, sudah habis pula masa iddah, barulah suami pertama boleh menikahinya lagi.
2. Talaq bain sughra (talaq tebus) dalam hal ini sumai tidak sah rujuk lagi, tetapi bileh menikah lagi, baik dalam pada masa iddah maupun sesuadah habis iddah.
3. Talaq satu atau talaq dua, dinamakan talaq raj’i. artinya si suami boleh rujuk kembali kepada istrinya selama msih dalam masa iddah.
B. Hukum Rujuk
a. Wajib khusus bagi laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu jika salah seorang ditalak sebelum gilirannya disempurnakannya.
b. Haram apabila rujuk itu, istri akan lebih menderita.
c. Makruh kalau diteruskan bercerai akan lebih baik bagi suami istri
d. Jaiz, hukum asal Rujuk.
e. Sunah jika rujuk akan membuat lebih baik dan manfaat bagi suami istri
Rujuk adalah mengembalikan istri yang telah ditalak pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan. Rujuk menurut bahasa artinya kembali (mengembalikan). Adapun yang dimaksud rujuk disini adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan istrinya dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu.
menurut bahasa Arab, kata ruju’ berasal dari kata raja’ a-yarji’ u-rujk’an yang berarti kembali, dan mengembalikan. Sedangkan secara terminology, ruju’ artinya kembalinya seorang suami kepada istrinya yang di talak raj’I, tanpa melalui perkawinan dalam masa ‘iddah. Ada pula para ulama mazhab berpendapat dalam istilah kata ruju’ itu adalah menarik kembali wanita yang di talak dan mempertahankan (ikatan) perkawinannya. Hukumnya, menurut kesepakatan para ulama mazhab, adalah boleh. Menurut para ulama mazhab ruju’ juga tidak membutuhkan wali, mas kawin, dan juga tidak kesediaan istri yang ditalak.
Firman Allah SWT Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al Baqarah :228)
Dapat di rumuskan bahwa ruju’ ialah mengembalikan setatus hokum perkawinan secara penuh setelah terjadinya talak raj’I yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa idddah, dengan ucapan tertentu.
Dengan terjadinya talak raj’I. maka kekuasaan bekas suami terhadap istri menjadi berkurang, namun masih ada pertalian hak dan kewajiban antara keduanya selama istri dalam masa iddahnya, yaitu kewajiban menyediakan tempat tinggal serta jaminan nafkah, dan sebagai imbangannya bekas suami memiliki hak prioritas untuk meruju’ bekas istrinya itu dalam arti mengembalikannya kepada kedudukannya sebagai istri secara penuh, dan pernyataan ruju’ itu menjadi halal bekas suami mencampuri bekas istri yang dimaksud, sebab dengan demikain setatus perkawinan mereka kembali sebagai sedia kala.
Perceraian ada tiga cara, yaitu :
1. talaq bain qubra (talaq tiga). Laki-laki tidak boleh rujuk lagi dan tidak sah menikah lagi dengan bekas istrinya itu, keculi apbila si istri sudah menukah dengan orang lain, sudah campur, sudah diceraikan, sudah habis pula masa iddah, barulah suami pertama boleh menikahinya lagi.
2. Talaq bain sughra (talaq tebus) dalam hal ini sumai tidak sah rujuk lagi, tetapi bileh menikah lagi, baik dalam pada masa iddah maupun sesuadah habis iddah.
3. Talaq satu atau talaq dua, dinamakan talaq raj’i. artinya si suami boleh rujuk kembali kepada istrinya selama msih dalam masa iddah.
B. Hukum Rujuk
a. Wajib khusus bagi laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu jika salah seorang ditalak sebelum gilirannya disempurnakannya.
b. Haram apabila rujuk itu, istri akan lebih menderita.
c. Makruh kalau diteruskan bercerai akan lebih baik bagi suami istri
d. Jaiz, hukum asal Rujuk.
e. Sunah jika rujuk akan membuat lebih baik dan manfaat bagi suami istri
1. hukum ruju’ terhadap talak raj’I
kaum muslimin telah sepakat bahwa suami mempunyai hak meruju; istrinya selama istrinya itu dalam masa iddah, dan tidak atau tanpa pertimbangan seorang istri ataupun persetujuan seorang istri. Sesuai dengan pengertian surat Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi ”Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu.”
2. hukum ruju’ terhadap talak ba’in
talak ba’in kadang-kadang terjadi dengan bilangan talak kurang dari tiga, dan ini terjadi pada istri yang belum digauli tanpa diperselisihkan lagi, dan pada istri
yang menerima khulu’ dengan terdapat perbedaan pendapat didalamnya. Hukum ruju’ setelah talak tersebut sama dengan nikah baru.
Mazhab empat sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawinkannya kembali disyaratkan adanya akad. Hanya saja dalam hal ini selesainya ‘iddah tidak dianggap sebagai syarat.
a. talak ba’in karena talak tiga kali.
Mengenai istri yang ditalak tiga kali, para ulama mengatakan bahwa ia tidak halal lagi bagi suaminya, kecuali si istri menikah dengan orang lain, dengan syarat si istri sudah di tiduri oleh suami tersebut. Dan pasangan suami istri tersebut bercerai. Kemudian sang suami pertama merujuknya kembali dengan acara akad nikah baru.
Sa’id Al-Musyyab berbeda sendiri pendapatnya dengan mengatakan bahwa istri yang ditalak tiga kali boleh kembali kepada suaminya yang pertama dengan akad nikah yang sama, ia berpendapat bahwa nikah yang dimaksudkan adalah untuk semua akad nikah.
b. nikah muhallil
dalam hal ini Fuqaha berselisih pendapat mengenai nikah muhallil. Yakni jika seorang laki-laki mengawini seorang perempuan dengan syarat (tujuan) untuk menghalalkannya bagi suami yang pertama.
Menurut Imam Malik nikah tersebut sudah rusak, sedangkan menurut imam Syafi’I dan Abu Hanifah perpendapat bahwa nikah muhallil dibolehkan, dan niat untuk menikah itu tidak mempengaruhi syahnya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Daud dan segolongan fuqaha. Mereka berpendapat bahwa pernikahan tersebut menyebabkan kehalalan istri yang di ceraikan tiga kali.
3. perbedaan pendapat para ulama mazhab tentang terjadinya ruju’ melalui perbuatan.
kaum muslimin telah sepakat bahwa suami mempunyai hak meruju; istrinya selama istrinya itu dalam masa iddah, dan tidak atau tanpa pertimbangan seorang istri ataupun persetujuan seorang istri. Sesuai dengan pengertian surat Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi ”Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu.”
2. hukum ruju’ terhadap talak ba’in
talak ba’in kadang-kadang terjadi dengan bilangan talak kurang dari tiga, dan ini terjadi pada istri yang belum digauli tanpa diperselisihkan lagi, dan pada istri
yang menerima khulu’ dengan terdapat perbedaan pendapat didalamnya. Hukum ruju’ setelah talak tersebut sama dengan nikah baru.
Mazhab empat sepakat bahwa hukum wanita seperti itu sama dengan wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawinkannya kembali disyaratkan adanya akad. Hanya saja dalam hal ini selesainya ‘iddah tidak dianggap sebagai syarat.
a. talak ba’in karena talak tiga kali.
Mengenai istri yang ditalak tiga kali, para ulama mengatakan bahwa ia tidak halal lagi bagi suaminya, kecuali si istri menikah dengan orang lain, dengan syarat si istri sudah di tiduri oleh suami tersebut. Dan pasangan suami istri tersebut bercerai. Kemudian sang suami pertama merujuknya kembali dengan acara akad nikah baru.
Sa’id Al-Musyyab berbeda sendiri pendapatnya dengan mengatakan bahwa istri yang ditalak tiga kali boleh kembali kepada suaminya yang pertama dengan akad nikah yang sama, ia berpendapat bahwa nikah yang dimaksudkan adalah untuk semua akad nikah.
b. nikah muhallil
dalam hal ini Fuqaha berselisih pendapat mengenai nikah muhallil. Yakni jika seorang laki-laki mengawini seorang perempuan dengan syarat (tujuan) untuk menghalalkannya bagi suami yang pertama.
Menurut Imam Malik nikah tersebut sudah rusak, sedangkan menurut imam Syafi’I dan Abu Hanifah perpendapat bahwa nikah muhallil dibolehkan, dan niat untuk menikah itu tidak mempengaruhi syahnya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Daud dan segolongan fuqaha. Mereka berpendapat bahwa pernikahan tersebut menyebabkan kehalalan istri yang di ceraikan tiga kali.
3. perbedaan pendapat para ulama mazhab tentang terjadinya ruju’ melalui perbuatan.
a. Imam Syafi’i
Rujuk harus dilakukan dengan ucapan atau tulisan. Karena itu, ruju’ tidak sah bila dilakukan dengan mencampurinya sesungguhpun hal itu diniatkan sebagai ruju’. Suami haram mencampurinya dalam ‘iddah. Kalau dia melakukan itu, ia harus membayar mahar mitsil, sebab percampuran tersebut tergolong pencampuran syubhat.
b. Imam Malik
Ruju’ boleh dilakukan melalui perbuatan yang di sertai dengan niat untuk ruju’. Akan tetapi bila suami mencampuri istrinya tersebut tanpa niat ruju’, maka wqnita tersebut tidak akan bias kembali kepadanya. Namun percampuran tersebut tidak mengakibatkan adanya hadd (hukuman) maupun keharusan membayar mahar. Anak yang lahir dari perempuan dikaitkan nasabnya kepada laki-laki yang mencampurinya itu. Wanita tersebut harus menyucikan dirinya dengan haidh manakala dia tidak hamil.
c. Imam Hambali
Ruju’ hanya terjadi melalui percampuran begitu terjadinya percampuran, maka ruju’ pun terjadi, sekalipun laki-laki tersebut tidak berniat ruju’. Sedangkan bila tindakan itu bukan percampuran, misalnya sentuhan ataupun ciuman yang disertai birahi dan lain sebagainya, sama sekali tidak mengakibatkan terjadinya ruju’
d. Imam Hanafi
Ruju’ bias terjadi melalui percampuran, sentuhan dan ciuman, dan hal-hal sejenis itu, yang dilakukan oleh laki-laki yang menalak dan wanita yang ditalaknya, dengan syarat semuanya itu disertai dengan birahi. Ruju’ juga bisa terjadi melalui tindakan (perbuatan) yang dilakukan oleh orang tidur, lupa, dipaksa, dan gila. Misalnya seorang laki-laki menalak istrinya, kemudian dia terserang penyakit gila, lalu istrinya itu dicampurinya sebelum ia habis masa iddahnya.
Rujuk harus dilakukan dengan ucapan atau tulisan. Karena itu, ruju’ tidak sah bila dilakukan dengan mencampurinya sesungguhpun hal itu diniatkan sebagai ruju’. Suami haram mencampurinya dalam ‘iddah. Kalau dia melakukan itu, ia harus membayar mahar mitsil, sebab percampuran tersebut tergolong pencampuran syubhat.
b. Imam Malik
Ruju’ boleh dilakukan melalui perbuatan yang di sertai dengan niat untuk ruju’. Akan tetapi bila suami mencampuri istrinya tersebut tanpa niat ruju’, maka wqnita tersebut tidak akan bias kembali kepadanya. Namun percampuran tersebut tidak mengakibatkan adanya hadd (hukuman) maupun keharusan membayar mahar. Anak yang lahir dari perempuan dikaitkan nasabnya kepada laki-laki yang mencampurinya itu. Wanita tersebut harus menyucikan dirinya dengan haidh manakala dia tidak hamil.
c. Imam Hambali
Ruju’ hanya terjadi melalui percampuran begitu terjadinya percampuran, maka ruju’ pun terjadi, sekalipun laki-laki tersebut tidak berniat ruju’. Sedangkan bila tindakan itu bukan percampuran, misalnya sentuhan ataupun ciuman yang disertai birahi dan lain sebagainya, sama sekali tidak mengakibatkan terjadinya ruju’
d. Imam Hanafi
Ruju’ bias terjadi melalui percampuran, sentuhan dan ciuman, dan hal-hal sejenis itu, yang dilakukan oleh laki-laki yang menalak dan wanita yang ditalaknya, dengan syarat semuanya itu disertai dengan birahi. Ruju’ juga bisa terjadi melalui tindakan (perbuatan) yang dilakukan oleh orang tidur, lupa, dipaksa, dan gila. Misalnya seorang laki-laki menalak istrinya, kemudian dia terserang penyakit gila, lalu istrinya itu dicampurinya sebelum ia habis masa iddahnya.
e. Imamiyah
Rujuk bisa terjadi melalui percampuran, berciuman dan bersentuhan, yang disertai syahwat atau tidak dan lain sebagainya yang tidak halal dilakukan kecuali oleh suami. Ruju’ tidak membutuhkan pendahuluan berupa ucapan. Sebab, wanita tersebut adalah istrinya, sepanjang dia masih dalam masa iddah. Dan bahkan perbuatan tersebut tidak perlu disertai niat ruju’. Penyusun kitab Al-Jawahir mengatakan, “barangkali tujuan pemutlakan nash dan fakta tentang ruju’ adalah itu, bahkan ruju’ bisa terjadi melalui perbuatan sekalipun disertai maksud tidak ruju;.” Sayyid Abu Al-Hasan mengatakan dalam Al-Wasilahnya,”perbuatan tersebut mengandung kemungkinan kuat sebagai ruju’, sekalipun dimaksudkan bukan ruju;.” Tetapi. Bagi Imamiyah, tindakan tersebut tidak dipandang berpengaruh manakala dilakukan oleh orang yang tidur, lupa, dan mengalami syubhat, misalnya bila dia mencampuri wanita tersebut karena menduga bahwa wanita tersebut bukan istrinya yang dia talak.
C. Rukun Rujuk
1. Istri, syaratnya pernah dicampuri, talak raj’i, dan masih dalam masa iddah, isteri yang tertentu yaitu kalau suami menalak beberapa istrinya kemudian ia rujuk dengan salah seorang dari mereka dengan tidak ditentukan siapa yang dirujukan-maka rujuknya itu tidak sah.
2. Suami, syaratnya atas kehendak sendiri tidak dipaksa
3. Saksi yaitu dua orang laki-laki yang adil.
4. Sighat (lafal) rujuk ada dua, yaitu
1) terang-terangan , misalnya “Saya rujuk kepadamu”2) perkataan sindiran, misalnya “Saya pegang engkau” atau “saya kawin engkau” dan sebagainya, yaitu dengan kalimat yang boleh dipakai untuk rujuk atau yng lainnya.
Rujuk bisa terjadi melalui percampuran, berciuman dan bersentuhan, yang disertai syahwat atau tidak dan lain sebagainya yang tidak halal dilakukan kecuali oleh suami. Ruju’ tidak membutuhkan pendahuluan berupa ucapan. Sebab, wanita tersebut adalah istrinya, sepanjang dia masih dalam masa iddah. Dan bahkan perbuatan tersebut tidak perlu disertai niat ruju’. Penyusun kitab Al-Jawahir mengatakan, “barangkali tujuan pemutlakan nash dan fakta tentang ruju’ adalah itu, bahkan ruju’ bisa terjadi melalui perbuatan sekalipun disertai maksud tidak ruju;.” Sayyid Abu Al-Hasan mengatakan dalam Al-Wasilahnya,”perbuatan tersebut mengandung kemungkinan kuat sebagai ruju’, sekalipun dimaksudkan bukan ruju;.” Tetapi. Bagi Imamiyah, tindakan tersebut tidak dipandang berpengaruh manakala dilakukan oleh orang yang tidur, lupa, dan mengalami syubhat, misalnya bila dia mencampuri wanita tersebut karena menduga bahwa wanita tersebut bukan istrinya yang dia talak.
C. Rukun Rujuk
1. Istri, syaratnya pernah dicampuri, talak raj’i, dan masih dalam masa iddah, isteri yang tertentu yaitu kalau suami menalak beberapa istrinya kemudian ia rujuk dengan salah seorang dari mereka dengan tidak ditentukan siapa yang dirujukan-maka rujuknya itu tidak sah.
2. Suami, syaratnya atas kehendak sendiri tidak dipaksa
3. Saksi yaitu dua orang laki-laki yang adil.
4. Sighat (lafal) rujuk ada dua, yaitu
1) terang-terangan , misalnya “Saya rujuk kepadamu”2) perkataan sindiran, misalnya “Saya pegang engkau” atau “saya kawin engkau” dan sebagainya, yaitu dengan kalimat yang boleh dipakai untuk rujuk atau yng lainnya.
Rujuk dengan perbuatan (campur)
Perbedaan pendapat juga terjadi pada hokum rujuk dengan perbuatan. Syafi’I berpendapat tidak sah, karena dalam ayat alqur’an Allah menyuruh supaya rujuk dipersaksikan, sedangkan yang dapat dipersaksikan hanya sigat (perkataan). Perbuatan seperti itu sidah tentu tidak dapat dipersaksikan oleh orang lain. Akan tetapi, menurut pendapat kebanyakan ulama, rujuk dengan perbuatan itu sah. Mereka beralasan kepada firman Allah dalam surat Al-baqarah : 228 yang artinya : “ dan suami-suami berhak merujuknya”
Dalam ayat tersebut tudak ditentukan apakah dngan perkataan atau perbuatan. Hokum mempersaksikan dalam ayat diatas hanyalh sunat, bukan wajib. Qarinahnya adalah kesepakatan ulama (ijma’) bahwa mempersaksikan talaq-ketika menalaq-tidak wajib: demikian pula hendaknya ketika rujuk, apalgi beratri rujuk itu meneruskan pernikahan yang lama, sehingga tidak perlu wali dan tidak perlu ridho orang yang dirujuki. Mencampuri istri yang sedang dalam iddah raj’iyah itu halal bagi suai yang menceraikannya, menurut pendapat abu hanifah. Dasarnya krena dalam ayat itu ia masih disebut suami.
Perbedaan pendapat juga terjadi pada hokum rujuk dengan perbuatan. Syafi’I berpendapat tidak sah, karena dalam ayat alqur’an Allah menyuruh supaya rujuk dipersaksikan, sedangkan yang dapat dipersaksikan hanya sigat (perkataan). Perbuatan seperti itu sidah tentu tidak dapat dipersaksikan oleh orang lain. Akan tetapi, menurut pendapat kebanyakan ulama, rujuk dengan perbuatan itu sah. Mereka beralasan kepada firman Allah dalam surat Al-baqarah : 228 yang artinya : “ dan suami-suami berhak merujuknya”
Dalam ayat tersebut tudak ditentukan apakah dngan perkataan atau perbuatan. Hokum mempersaksikan dalam ayat diatas hanyalh sunat, bukan wajib. Qarinahnya adalah kesepakatan ulama (ijma’) bahwa mempersaksikan talaq-ketika menalaq-tidak wajib: demikian pula hendaknya ketika rujuk, apalgi beratri rujuk itu meneruskan pernikahan yang lama, sehingga tidak perlu wali dan tidak perlu ridho orang yang dirujuki. Mencampuri istri yang sedang dalam iddah raj’iyah itu halal bagi suai yang menceraikannya, menurut pendapat abu hanifah. Dasarnya krena dalam ayat itu ia masih disebut suami.
Rujuk
itu sah juga meskipun tidak dengan ridho si perempuan dan atas
sepengetahuannya karena rujuk itu berate mengekalkan pernikahan yang
telah lalu. Kalau seorang perempuan dirujuk oleh suaminya sedangkan ia
tidak tahu, kemudian setelah lepas iddahnya perempuan itu menikah dengan
laki-laki lain karena dia tidak mengetahui bahwa suaminya rujuk
kepadanya, maka nikah yang kedua ini tidak sah dan batal dengan
sendirinya dan perempuan tersebut harus dikembalikan kepada suaminya.
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MENURUT SYARI’AT ISLAM YANG MULIA
Posted on Januari 1, 2008 by Situs islam: www.almanhaj.or.id , www.alsofwah.or.id , www.muslim.or.id
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MENURUT SYARI’AT ISLAM YANG MULIA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menganjurkan kaum muda untuk menyegerakan me-nikah sehingga mereka tidak berkubang dalam kemak-siatan, menuruti hawa nafsu dan syahwatnya. Karena, banyak sekali keburukan akibat menunda pernikahan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menganjurkan kaum muda untuk menyegerakan me-nikah sehingga mereka tidak berkubang dalam kemak-siatan, menuruti hawa nafsu dan syahwatnya. Karena, banyak sekali keburukan akibat menunda pernikahan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai
para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah,
maka menikahlah! Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan
lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu,
maka hendaklah ia shaum (puasa) karena shaum itu dapat memben-tengi
dirinya.”[1]
Anjuran
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk segera menikah
mengandung berbagai manfaat, sebagaimana yang dijelaskan oleh para
ulama, di antaranya:
[1]. Melaksanakan Perintah Allah Ta’ala.
[2]. Melaksanakan Dan Menghidupkan Sunnah Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.
[3]. Dapat Menundukkan Pandangan.
[4]. Menjaga Kehormatan Laki-Laki Dan Perempuan.
[5]. Terpelihara Kemaluan Dari Beragam Maksiat.
[2]. Melaksanakan Dan Menghidupkan Sunnah Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.
[3]. Dapat Menundukkan Pandangan.
[4]. Menjaga Kehormatan Laki-Laki Dan Perempuan.
[5]. Terpelihara Kemaluan Dari Beragam Maksiat.
Dengan
menikah, seseorang akan terpelihara dari perbuatan jelek dan hina,
seperti zina, kumpul kebo, dan lainnya. Dengan terpelihara diri dari
berbagai macam perbuatan keji, maka hal ini adalah salah satu sebab
dijaminnya ia untuk masuk ke dalam Surga.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya
: Barangsiapa yang menjaga apa yang ada di antara dua bibir (lisan)nya
dan di antara dua paha (ke-maluan)nya, aku akan jamin ia masuk ke dalam
Surga.” [2]
[6]. Ia Juga Akan Termasuk Di Antara Orang-Orang Yang Ditolong Oleh Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang ditolong oleh Allah, yaitu orang yang menikah untuk memelihara dirinya dan pandangannya, orang yang berjihad di jalan Allah, dan seorang budak yang ingin melunasi hutangnya (menebus dirinya) agar merdeka (tidak menjadi budak lagi). Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang ditolong oleh Allah, yaitu orang yang menikah untuk memelihara dirinya dan pandangannya, orang yang berjihad di jalan Allah, dan seorang budak yang ingin melunasi hutangnya (menebus dirinya) agar merdeka (tidak menjadi budak lagi). Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Ada
tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah: (1)
mujahid fi sabilillah, (2) budak yang menebus dirinya agar merdeka, dan
(3) orang yang menikah karena ingin memelihara kehor-matannya.” [3]
[7]. Dengan Menikah, Seseorang Akan Menuai Ganjaran Yang Banyak.
Bahkan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa seseorang yang bersetubuh dengan isterinya akan mendapatkan ganjaran. Beliau bersabda,
Bahkan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa seseorang yang bersetubuh dengan isterinya akan mendapatkan ganjaran. Beliau bersabda,
“Artinya : … dan pada persetubuhan salah seorang dari kalian adalah shadaqah…” [4]
[8]. Mendatangkan Ketenangan Dalam Hidupnya
Yaitu dengan terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
Yaitu dengan terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
“Artinya
: Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih
dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” [Ar-Ruum : 21]
Seseorang
yang berlimpah harta belum tentu merasa tenang dan bahagia dalam
kehidupannya, terlebih jika ia belum menikah atau justru melakukan
pergaulan di luar pernikahan yang sah. Kehidupannya akan dihantui oleh
kegelisahan. Dia juga tidak akan mengalami mawaddah dan cinta yang
sebenarnya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
“Artinya : Tidak pernah terlihat dua orang yang saling mencintai seperti (yang terlihat dalam) pernikahan.” [5]
Cinta
yang dibungkus dengan pacaran, pada hakikatnya hanyalah nafsu syahwat
belaka, bukan kasih sayang yang sesungguhnya, bukan rasa cinta yang
sebenarnya, dan dia tidak akan mengalami ketenangan karena dia berada
dalam perbuatan dosa dan laknat Allah. Terlebih lagi jika mereka hidup
berduaan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Mereka akan terjerumus dalam
lembah perzinaan yang menghinakan mereka di dunia dan akhirat.
Berduaan
antara dua insan yang berlainan jenis merupakan perbuatan yang
terlarang dan hukumnya haram dalam Islam, kecuali antara suami dengan
isteri atau dengan mahramnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam:
“Artinya : angan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, kecuali si wanita itu bersama mahramnya.” [6]
Mahram
bagi laki-laki di antaranya adalah bapaknya, pamannya, kakaknya, dan
seterusnya. Berduaan dengan didampingi mahramnya pun harus ditilik dari
kepen-tingan yang ada. Jika tujuannya adalah untuk ber-pacaran, maka
hukumnya tetap terlarang dan haram karena pacaran hanya akan
mendatangkan kegelisahan dan menjerumuskan dirinya pada
perbuatan-perbuatan terlaknat. Dalam agama Islam yang sudah sempurna
ini, tidak ada istilah pacaran meski dengan dalih untuk dapat saling
mengenal dan memahami di antara kedua calon suami isteri.
Sedangkan
berduaan dengan didampingi mahramnya dengan tujuan meminang (khitbah),
untuk kemudian dia menikah, maka hal ini diperbolehkan dalam syari’at
Islam, dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan pula oleh
syari’at.
[9]. Memiliki Keturunan Yang Shalih
Setiap orang yang menikah pasti ingin memiliki anak. Dengan menikah –dengan izin Allah— ia akan mendapatkan keturunan yang shalih, sehingga menjadi aset yang sangat berharga karena anak yang shalih akan senantiasa mendo’akan kedua orang tuanya, serta dapat menjadikan amal bani Adam terus mengalir meskipun jasadnya sudah berkalang tanah di dalam kubur.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
Setiap orang yang menikah pasti ingin memiliki anak. Dengan menikah –dengan izin Allah— ia akan mendapatkan keturunan yang shalih, sehingga menjadi aset yang sangat berharga karena anak yang shalih akan senantiasa mendo’akan kedua orang tuanya, serta dapat menjadikan amal bani Adam terus mengalir meskipun jasadnya sudah berkalang tanah di dalam kubur.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya
: Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga
hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang
mendo’akannya.” [7]
[10]. Menikah Dapat Menjadi Sebab Semakin Banyaknya Jumlah Ummat Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam
Termasuk anjuran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah menikahi wanita-wanita yang subur, supaya ia memiliki keturunan yang banyak.
Termasuk anjuran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah menikahi wanita-wanita yang subur, supaya ia memiliki keturunan yang banyak.
Seorang
yang beriman tidak akan merasa takut dengan sempitnya rizki dari Allah
sehingga ia tidak membatasi jumlah kelahiran. Di dalam Islam, pembatasan
jumlah kelahiran atau dengan istilah lain yang menarik (seperti
“Keluarga Berencana”) hukumnya haram dalam Islam. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam justru pernah mendo’akan seorang Shahabat
beliau, yaitu Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, yang telah membantu
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama sepuluh tahun dengan do’a:
“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya dan berkahilah baginya dari apa-apa yang Engkau anugerahkan padanya.” [8]
Dengan
kehendak Allah, dia menjadi orang yang paling banyak anaknya dan paling
banyak hartanya pada waktu itu di Madinah. Kata Anas, “Anakku, Umainah,
menceritakan kepadaku bahwa anak-anakku yang sudah meninggal dunia ada
120 orang pada waktu Hajjaj bin Yusuf memasuki kota Bashrah.” [9]
Semestinya
seorang muslim tidak merasa khawatir dan takut dengan banyaknya anak,
justru dia merasa bersyukur karena telah mengikuti Sunnah Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Allah ‘Azza wa Jalla akan
memudahkan baginya dalam mendidik anak-anaknya, sekiranya ia
bersungguh-sungguh untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi Allah
‘Azza wa Jalla tidak ada yang mustahil.
Di antara manfaat dengan banyaknya anak dan keturunan adalah:
1. Mendapatkan karunia yang sangat besar yang lebih tinggi nilainya dari harta.
2. Menjadi buah hati yang menyejukkan pandangan.
3. Sarana untuk mendapatkan ganjaran dan pahala dari sisi Allah.
4. Di dunia mereka akan saling menolong dalam ke-bajikan.
5. Mereka akan membantu meringankan beban orang tuanya.
6. Do’a mereka akan menjadi amal yang bermanfaat ketika orang tuanya sudah tidak bisa lagi beramal (telah meninggal dunia).
7. Jika ditakdirkan anaknya meninggal ketika masih kecil/belum baligh -insya Allah- ia akan menjadi syafa’at (penghalang masuknya seseorang ke dalam Neraka) bagi orang tuanya di akhirat kelak.
8. Anak akan menjadi hijab (pembatas) dirinya dengan api Neraka, manakala orang tuanya mampu men-jadikan anak-anaknya sebagai anak yang shalih atau shalihah.
9. Dengan banyaknya anak, akan menjadi salah satu sebab kemenangan kaum muslimin ketika jihad fi sabilillah dikumandangkan karena jumlahnya yang sangat banyak.
10. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bangga akan jumlah ummatnya yang banyak.
1. Mendapatkan karunia yang sangat besar yang lebih tinggi nilainya dari harta.
2. Menjadi buah hati yang menyejukkan pandangan.
3. Sarana untuk mendapatkan ganjaran dan pahala dari sisi Allah.
4. Di dunia mereka akan saling menolong dalam ke-bajikan.
5. Mereka akan membantu meringankan beban orang tuanya.
6. Do’a mereka akan menjadi amal yang bermanfaat ketika orang tuanya sudah tidak bisa lagi beramal (telah meninggal dunia).
7. Jika ditakdirkan anaknya meninggal ketika masih kecil/belum baligh -insya Allah- ia akan menjadi syafa’at (penghalang masuknya seseorang ke dalam Neraka) bagi orang tuanya di akhirat kelak.
8. Anak akan menjadi hijab (pembatas) dirinya dengan api Neraka, manakala orang tuanya mampu men-jadikan anak-anaknya sebagai anak yang shalih atau shalihah.
9. Dengan banyaknya anak, akan menjadi salah satu sebab kemenangan kaum muslimin ketika jihad fi sabilillah dikumandangkan karena jumlahnya yang sangat banyak.
10. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bangga akan jumlah ummatnya yang banyak.
Anjuran
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini tentu tidak bertentangan
dengan manfaat dan hikmah yang dapat dipetik di dalamnya. Meskipun kaum
kafir tiada henti-hentinya menakut-nakuti kaum muslimin sepuaya mereka
tidak memiliki banyak anak dengan alasan rizki, waktu, dan tenaga yang
terbatas untuk mengurus dan memperhatikan mereka. Padahal, bisa jadi
dengan adanya anak-anak yang menyambutnya ketika pulang dari bekerja,
justru akan membuat rasa letih dan lelahnya hilang seketika. Apalagi
jika ia dapat bermain dan bersenda gurau dengan anak-anaknya. Masih
banyak lagi keutamaan memiliki banyak anak, dan hal ini tidak bisa
dinilai dengan harta.
Bagi
seorang muslim yang beriman, ia harus yakin dan mengimani bahwa
Allah-lah yang memberikan rizki dan mengatur seluruh rizki bagi
hamba-Nya. Tidak ada yang luput dari pemberian rizki Allah ‘Azza wa
Jalla, meski ia hanya seekor ikan yang hidup di lautan yang sangat dalam
atau burung yang terbang menjulang ke langit. Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman:
“Artinya
: Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan
semuanya dijamin Allah rizkinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan
tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh).” [Huud : 6]
Pada
hakikatnya, perusahaan tempat bekerja hanyalah sebagai sarana datangnya
rizki, bukan yang memberikan rizki. Sehingga, setiap hamba Allah ‘Azza
wa Jalla diperintahkan untuk berusaha dan bekerja, sebagai sebab
datangnya rizki itu dengan tetap tidak berbuat maksiat kepada Allah
‘Azza wa Jalla dalam usahanya mencari rizki. Firman Allah ‘Azza wa
Jalla:
Artinya
: “Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan
kemudahan baginya dalam urusannya.” [Ath-Thalaq : 4]
Jadi,
pada dasarnya tidak ada alasan apa pun yang membenarkan seseorang
membatasi dalam memiliki jumlah anak, misalnya dengan menggunakan alat
kontrasepsi, yang justru akan membahayakan dirinya dan suaminya, secara
medis maupun psikologis
APABILA BELUM DIKARUNIAI ANAK
APABILA BELUM DIKARUNIAI ANAK
Allah
Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu, Mahaadil, Maha Mengetahui, dan
Mahabijaksana meng-anugerahkan anak kepada pasangan suami isteri, dan
ada pula yang tidak diberikan anak. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Artinya
: Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang
Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia
kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia
kehendaki, atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan
menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui,
Mahakuasa.” [Asy-Syuuraa : 49-50]
Apabila
sepasang suami isteri sudah menikah sekian lama namun ditakdirkan oleh
Allah belum memiliki anak, maka janganlah ia berputus asa dari rahmat
Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaklah ia terus berdo’a sebagaimana Nabi
Ibrahim ‘alaihis salaam dan Zakariya ‘alaihis salaam telah berdo’a
kepada Allah sehingga Allah ‘Azza wa Jalla mengabulkan do’a mereka.
Do’a mohon dikaruniai keturunan yang baik dan shalih terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu:
“Ya Rabb-ku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.” [Ash-Shaaffaat : 100]
“…Ya
Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi
orang-orang yang bertaqwa.” [Al-Furqaan : 74]
“…Ya
Rabb-ku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa
keturunan) dan Engkau-lah ahli waris yang terbaik.” [Al-Anbiyaa' : 89]
“…Ya Rabb-ku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar do’a.” [Ali ‘Imran : 38]
Suami
isteri yang belum dikaruniai anak, hendaknya ikhtiar dengan berobat
secara medis yang dibenarkan menurut syari’at, juga menkonsumsi
obat-obat, makanan dan minuman yang menyuburkan. Juga dengan meruqyah
diri sendiri dengan ruqyah yang diajarkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dan terus menerus istighfar (memohon ampun) kepada Allah atas
segala dosa. Serta senantiasa berdo’a kepada Allah di tempat dan waktu
yang dikabulkan. Seperti ketika thawaf di Ka’bah, ketika berada di Shafa
dan Marwah, pada waktu sa’i, ketik awuquf di Arafah, berdo’a di
sepertiga malam yang akhir, ketika sedang berpuasa, ketika safar, dan
lainnya.[10]
Apabila
sudah berdo’a namun belum terkabul juga, maka ingatlah bahwa semua itu
ada hikmahnya. Do’a seorang muslim tidaklah sia-sia dan Insya Allah akan
menjadi simpanannya di akhirat kelak.
Janganlah
sekali-kali seorang muslim berburuk sangka kepada Allah! Hendaknya ia
senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Apa yang Allah takdirkan
baginya, maka itulah yang terbaik. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyayang
kepada hamba-hambaNya, Mahabijaksana dan Mahaadil.
Bagi
yang belum dikaruniai anak, gunakanlah kesempatan dan waktu untuk
berbuat banyak kebaikan yang sesuai dengan syari’at, setiap hari membaca
Al-Qur-an dan menghafalnya, gunakan waktu untuk membaca buku-buku
tafsir dan buku-buku lain yang bermanfaat, berusaha membantu keluarga,
kerabat terdekat, tetangga-tetangga yang sedang susah dan miskin,
mengasuh anak yatim, dan sebagainya.
Mudah-mudahan
dengan perbuatan-perbuatan baik yang dikerjakan dengan ikhlas mendapat
ganjaran dari Allah di dunia dan di akhirat, serta dikaruniai anak-anak
yang shalih.
[Disalin
dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin
Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke
II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar